Tanggal Rilis | : | 18 Oktober 2009 |
Ukuran File | : | 0.47 MB |
Abstraksi
; Nilai Tukar Petani (NTP) Sulawesi Barat Agustus 2009 sebesar 106,16 naik 0,74 persen dibandingkan NTP Juli 2009 yang mencapai 105,38. Selain itu, NTP menurut subsektor tercatat 95,65 untuk Subsektor Tanaman Pangan (NTP-P); 86,71 untuk Subsektor Hortikultura (NTP-H); 131,74 untuk Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat (NTP-R); 108,84 untuk Subsektor Peternakan (NTP-T) dan 104,92 untuk Subsektor Perikanan (NTN). ; Hasil pemantauan harga konsumen pedesaan menunjukkan terjadinya inflasi pedesaan di Sulawesi Barat pada Agustus 2009 sebesar 0,50 persen, yang secara umum dikarenakan adanya kenaikan indeks harga pada lima dari tujuh kelompok pengeluaran, yang cukup signifikan yaitu kelompok bahan makanan naik sebesar 1,00 persen. Dua kelompok lainnya mengalami deflasi di daerah pedesaan, yaitu: kelompok perumahan 0,13 persen serta kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga 0,55 persen. ; Dibandingkan dengan provinsi lain, Sulawesi Barat merupakan salah satu dari 32 provinsi yang mengalami inflasi di daerah pedesaan, yang tertinggi terjadi di Papua Barat 1,78 persen dan terendah di Sulawesi Utara sebesar 0,01 persen. Sementara itu, tidak ada provinsi yang mengalami deflasi pedesaan. ; Untuk skala nasional, NTP Bulan Agustus adalah sebesar 100,24. Sulawesi Barat masih lebih tinggi dibandingkan nasional. Nilai Tukar Petani (NTP) yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani. NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani. Hasil pemantauan harga produsen berbagai komoditi barang dan jasa di daerah pedesaan menunjukkan bahwa NTP Sulawesi Barat Agustus 2009 sebesar 106,16 atau naik sebesar 0,74 persen dibandingkan dengan NTP Juli 2009 yang sebesar 105,38. Hal ini disebabkan karena perubahan indeks harga yang diterima petani naik 1,19 persen, sedangkan indeks yang dibayar petani hanya naik 0,45 persen. Berarti, secara umum kenaikan harga komoditi hasil pertanian dari bulan sebelumnya lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang keperluan konsumsi dan produksi. Akibatnya, perbandingan antara indeks harga yang diterima dengan indeks harga yang dibayar petani cenderung semakin tinggi.