Nilai Tukar Petani (NTP) Sulawesi Barat Mei 2009 sebesar 105,10 turun 0,04 persen dibandingkan NTP April 2009 yang mencapai 105,14. Selain itu, NTP menurut subsektor tercatat 96,66 untuk Subsektor Tanaman Pangan (NTP-P); 88,37 untuk Subsektor Hortikultura (NTP-H); 128,04 untuk Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat (NTP-R); 105,44 untuk Subsektor Peternakan (NTP-T) dan 104,69 untuk Subsektor Perikanan (NTN). ;
Hasil pemantauan harga konsumen pedesaan menunjukkan terjadinya deflasi pedesaan di Sulawesi Barat pada Mei 2009 sebesar 0,03 persen, yang secara umum dikarenakan adanya penurunan indeks harga pada empat dari tujuh kelompok pengeluaran yang cukup signifikan yaitu: kelompok bahan makanan -0,15 persen; sandang -0,18 persen; kesehatan -0,56 persen; serta transportasi dan komunikasi -0,76 persen. Tiga kelompok lainnya mengalami inflasi di daerah pedesaan, yaitu: kelompok makanan jadi 0,60 persen; perumahan 0,26 persen; serta pendidikan rekreasi, dan olah raga 0,09 persen. ;
Dibandingkan dengan provinsi lain, Sulawesi Barat merupakan salah satu dari 17 provinsi yang mengalami deflasi di daerah pedesaan, tertinggi di Gorontalo 1,39 persen dan terendah di Sulawesi Barat sebesar 0,03 persen. Sementara itu, 15 provinsi lainnya mengalami inflasi, tertinggi di Maluku 1,23 persen dan terendah di Kepulauan Riau 0,00 persen.
Nilai Tukar Petani (NTP) yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani. NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani. Hasil pemantauan harga produsen berbagai komoditi barang dan jasa di daerah pedesaan menunjukkan bahwa NTP Sulawesi Barat Mei 2009 sebesar 105,10 atau turun sebesar 0,04 persen dibandingkan dengan NTP April 2009 yang sebesar 105,14. Hal ini disebabkan karena perubahan indeks harga yang diterima petani turun 0,07 persen, sedangkan indeks yang dibayar petani turun sebesar 0,03 persen. Berarti, secara umum kenaikan harga komoditi hasil pertanian dari bulan sebelumnya lebih lambat dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang keperluan konsumsi dan produksi. Akibatnya, perbandingan antara indeks harga yang diterima dengan indeks harga yang dibayar petani cenderung semakin kecil.