Sudah
Perlukah Sulawesi Barat menghitung PDRB Hijau?
Oleh: Ahmad Fahrur Rohim
Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) seringkali dianggap sebagai indikator
keberhasilan pembangunan ekonomi, sehingga langkah untuk memperbesar angka PDRB
menjadi salah satu target utama yang harus dicapai sebagai indikator kinerja
pembangunan ekonomi. Konsekuensi dari pembangunan yang terlalu berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi dengan cara memperbesar angka PDRB adalah terjadinya
kerusakan lingkungan akibat dari over exploitation
SDA. Kerusakan lingkungan yang sering timbul sebagai dampak negatif dari
pembanguan ekonomi, yaitu: deforestasi, degradasi lahan, kekurangan air, serta
polusi udara dan air (Yakin, 2007). Oleh karena itu, pemerhati lingkungan
menyindir PDB atau GDP bukan kependekan dari Gross Domestic Product, tetapi
Gross Domestic Pollution (Samuelson, 2003)
Sheng
(1995) memberikan kritik bahwa, “langkah memperbesar PDB dipandang sebagai
usaha memperbanyak telur untuk memenuhi permintaan pasar tanpa memperhatikan
bagaimana memelihara dan memberi makan ayam yang menghasilkan telur tersebut”.
Pendapat tersebut mengisyaratkan pentingnya peranan sumberdaya alam dan
lingkungan dalam menjamin pembangunan berkelanjutan.
PDRB
Hijau merupakan konsep revolusioner yang mengintegrasikan aspek lingkungan ke
dalam pembangunan ekonomi dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.
Penghitungan PDRB Hijau memasukkan dua komponen lingkungan, yaitu deplesi
sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Deplesi SDA adalah berkurangnya
jumlah SDA yang tersedia, sedangkan degradasi atau menurunnya kualitas
lingkungan diartikan sebagai menurunnya fungsi atau kemampuan lingkungan dalam
menyediakan barang dan jasa lingkungan. Jika hanya deplesi SDA yang dimasukkan
ke dalam penghitungan, maka dinamakan dengan PDRB Semi Hijau. Sementara itu,
PDRB konvensionel dikenal dengan nama PDRB Coklat.
Provinsi
Sulawesi Barat sebagai Provinsi termuda di Indonesia terus berusaha
meningkatkan keadaan ekonomi masyarakatnya. PDRB Sulawesi Barat merupakan salah
satu indikator ekonomi di Sulawesi Barat yang besarannya menunjukkan tren yang
meningkat tiap tahunnya. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Barat selama dua tahun
terakhir ini sangat fantastis, yaitu mampu mencapai angka dua digit.
Pertumbuhan yang luar biasa tersebut bersumber dari peningkatan produksi di
semua sektor ekonomi. Perkembangan Sulawesi Barat akhir-akhir ini juga menarik
investor dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi di Sulawesi Barat.
Indikator PDRB Sulawesi Barat ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
mengambil kebijakan dalam menentukan arah pembangunan ekonomi di Sulawesi
Barat.
Tabel 1. PDRB Provinsi
Sulawesi Barat Tahun 2009-2012 (Milyar Rp)
Tahun
|
PDRB ADHB
|
PDRB ADHK
|
Pertumbuhan (%)
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
2009
|
9.403,38
|
4.239,46
|
6,03
|
2010
|
10.985,15
|
4.743,66
|
11,89
|
2011
|
12.883,96
|
5.233,06
|
10,32
|
2012
|
14.407,64
|
5.704,33
|
9,01
|
Sumber: Regional Account Sulawesi Barat 2009-2012
Perhitungan PDRB yang sudah dilakukan hingga saat ini
yang hasinya seperti pada tabel 1 diatas sebenarnya hanya menghitung nilai
total barang dan jasa akhir (final
product) yang dihasilkan selama satu tahun dan dinyatakan dalam rupiah. Pada
kenyataannya, penggunaan PDRB sebagai indikator ekonomi memiliki beberapa
kelemahan, antara lain: hanya mengukur kegiatan ekonomi dan bukan kesejahteraan
ekonomi suatu daerah; struktur perekonomian bersifat semu; biaya pencegahan
kerusakan dan perbaikan lingkungan dihitung sebagai pendapatan; dan
berkurangnya SDA dan rusaknya lingkungan tidak tampak dalam nilai PDRB Sulawesi
Barat.
Dalam kenyataannya, nilai
SDA di Sulawesi Barat yang hilang di eksploitasi (deplesi) dan kerusakan
(degradasi) lingkungan belum diperhitungkan atau dikurangkan sebagai nilai
kehilangan dan kerusakan yang seharusnya di bayar, sehingga nilai-nilai yang
tercantum dalam PDRB itu belum menunjukkan nilai-nilai kesejahteraan masyarakat
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, agar nilai-nilai dalam PDRB mencerminkan
nilai kesejahteraan yang sesungguhnya, maka perlu dilakukan penghitungan PDRB
yang disesuaikan dengan memasukkan nilai SDA yang digunakan sebagai masukan
maupun kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak
diinginkan dari suatu kegiatan. Nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut
dapat dijadikan acuan dasar bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yaitu dengan
memperhatikan keberadaan faktor sumberdaya alam dan lingkungan (pembangunan
yang berwawasan lingkungan).
Kementerian Lingkungan Hidup telah mengembangkan
konsep PDRB Hijau sejalan dengan konsep Neraca Terpadu Lingkungan dan Ekonomi
Nasional yang dirintis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mulai tahun 1995.
Beberapa daerah sudah pernah melakukan penghitungan PDRB Hijau maupun PDRB Semi
Hijau, namun dalam perkembangannya tidak banyak daerah yang melakukan penghitungan
PDRB tersebut, juga terutama belum dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Pertanyaan
yang muncul adalah “apakah Provinsi Sulawesi
Barat sudah perlu menyusun PDRB Hijau?”