Data Menjelaskan
Fenomena ataukah Fenomena Menjelaskan Data?
Oleh: Ahmad Fahrur Rohim
Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai
lembaga pemerintah penghasil data, setiap saat tidak luput dari pertanyaan dari
berbagai kalangan mengenai data yang telah dirilis. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut biasanya dikaitkan dengan isu dan fenomena yang berkembang
dimasyarakat. Konsumen biasanya akan merasa terpuaskan apabila data tersebut
bisa menjelaskan fenomena yang ada. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
fenomena terdapat tiga makna, yang pertama;
hal-hal yang dapat disaksikan dengan
panca indra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena
alam), kedua; sebagai sesuatu yg luar biasa, keajaiban,
dan ketiga; fakta, kenyataan.
Beberapa Data dan Fenomena yang Sempat Berkembang di Luar Negeri
Majalah Warta Ekonomi No 17 tahun
XXI pernah memuat beberapa indikator ekonomi yang aneh dari luar negeri, namun
cukup menjelaskan fenomena yang ada dan menjadi tolok ukur yang sangat mudah
bagi banyak kalangan untuk lebih mengerti apa yang sedang terjadi dalam
perekonomian suatu negara. Mantan Ketua Federal Reserve Alan Greenspan pernah
mengutarakan penjualan salah satu perusahaan kardus Amerika, “Stone Container”,
bisa dijadikan sebagai salah satu indikator perekonomian, karena ketika
perekonomian dalam keadaan baik perusahaan pada umumnya menggunakan kardus
dalam pengiriman barang. Jika penjualan “Stone Container” meningkat, maka
perekonomian membaik, dan jika sebaliknya, maka perekonomian memburuk. Selain
itu pernah juga muncul suatu indeks yang diberi nama indeks lipstik. Dalam perekonomian, wanita memegang peranan penting
melalui konsumsi. Banyak negara yang pertumbuhan ekonominya disokong oleh
konsumsi, seperti Amerika dan tentu saja Indonesia. Salah satu konsumsi
terbesar tentu saja melalui produk kecantikan karena wanita dan kecantikan
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketika wanita merasa bahwa
perekonomian dalam keadaan penuh ketidakpastian, maka ia akan cenderung untuk memilih
alat kecantikan yang lebih murah. Salah satu alat kecantikan yang pasti
dimiliki oleh setiap wanita adalah lipstik. Lipstik dapat menjadi mood booster, artinya ketika wanita
ingin merasa lebih baik, maka salah satunya dengan berdandan dan memakai lipstik.
Tren yang terjadi di Amerika menunjukkan bahwa ketika terjadi resesi, maka
penjualan lipstik akan meningkat. Pemakaian lipstik dipercaya meningkatkan mood dan kepercayaan diri ketika melalui
masa-masa sulit. Begitu sebaliknya jika perekonomian membaik maka penjualan
lipstik akan turun. Hal tersebut didukung oleh Leonard Lauder, CEO Estee
Lauder, salah satu produsen kosmetik terkemuka di dunia yang mengatakan terjadi
peningkatan yang cukup signifikan saat terjadi penyerangan pada 11 September
2001 silam. Harian terkemuka New York
Times memberitakan pada krisis global 2008 juga terjadi peningkatan penjualan
lipstik lebih dari 40 persen.
Majalah Warta Ekonomi No 17 tahun
XXI juga memuat indikator “nyleneh” lain, yaitu indeks obat sakit kepala. Ketika situasi dan kondisi di sekitar kita, terutama
ekonomi sedang memburuk, maka sakit kepala akan sering dialami oleh banyak
orang dan obat sakit kepala akan sangat dibutuhkan. Ketika terjadi krisis atau
resesi, maka penjualan obat sakit kepala akan naik. Hubungan yang ada adalah
ketika harga saham jatuh, maka tingkat penjualan obat sakit kepala akan
meningkat. Sebaliknya, jika harga saham naik, maka penjualan obat sakit kepala
akan menurun. Salah satu contohnya adalah ketika krisis global 2008, Wyeth,
salah satu produsen obat sakit kepala dunia, menyebutkan bahwa penjualan obat
sakit kepala mereka yaitu “Advil” meningkat 2% menjadi US$673 juta dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Data dan Fenomena di BPS Sulawesi Barat
Penjelasan diatas merupakan
indeks-indeks dan data-data yang bisa menjelaskan fenomena yang ada pada waktu
terjadi krisis global 2008. Bagaimana dengan indeks dan data yang kita
hasilkan, apakah sudah menjelaskan fenomena yang ada? Kata fenomena tersebut sangat
sering berdengung di telinga insan statistik mulai dari level Koordinator
Statistik Kecamatan (KSK) sampai sampai level pimpinan baik di daerah maupun yang
berada di Jakarta. KSK yang merupakan aktor blusukannya BPS, menggunakan
fenomena sebagai alat pengontrol saat pencacahan di lapangan maupun
mengevaluasi hasil pencacahan. Saat pencacahan dan pemeriksaan KSK bisa meningkatkan kualitas jawaban responden
khususnya yang sifatnya pertanyaan waktu lampau seperti seminggu yang lalu,
sebulan yang lalu, maupun setahun yang lalu dengan mengkaitkan dengan fenomena
sosial ekonomi yang ada. Contonya adalah saat pencacahan dan pemeriksaan Susenas
Modul Konsumsi triwulan III, jawaban pengeluaran konsumsi rumah tangga
responden harus dikontrol dengan fenomena puasa dan lebaran, dimana pada saat waktu
tersebut pengeluaran rumah tangga cukup besar khususnya sandang dan pangan
dibanding periode waktu yang lain. Selain itu pengeluaran rumah tangga yang
mempunyai anak sekolah juga harus dilihat kewajarannya pada rincian pertanyaan
yang berhubungan dengan pendidikan, karena pada periode triwulan III yaitu bulan
Juli ada fenomena tahun ajaran baru sekolah.
Pada level staf dan kepala seksi
menggunakan fenomena untuk memeriksa kewajaran isian kuesioner pencacah,
melakukan analisis data dalam bentuk publikasi maupun naskah berita resmi
statistik (BRS) serta sebagai pengontrol dalam menyusun indeks sosial ekonomi. Sedangkan
pada level pimpinan, fenomena digunakan dalam menjelaskan data ataupun
indikator yang telah dihasilkan melalui BRS maupun penjelasan langsung kepada
publik. Data yang ada tentunya harus merefleksikan fenomena yang terjadi.
Begitu juga jika ada indikator yang terbentuk dari proses pengolahan data juga
harus bisa dijelaskan dengan baik oleh fenomena.
Jika kita bergeser dengan data dan
indikator yang dihasilkan oleh lembaga tercinta BPS Provinsi Sulawesi Barat,
hampir semua data yang ada bisa menjelaskan fenomena dan fenomena yang ada juga
bisa terjelaskan dengan data kita. Tentu masih segar pada ingatan kita ketika
BPS Sulawesi Barat merilis angka pertumbuhan ekonomi tahunan pada 2010 sebesar
11,91 persen (sebelum direvisi mejadi 11,89 persen setahun kemudian) pada bulan
Februari 2011. Angka tersebut konon merupakan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi
di Indonesia bahkan di Asia Tenggara dan dunia. Pertumbuhan yang cukup
sensasional tersebut serentak cukup menyita perhatian publik. Gubernur Sulawesi
Barat mendapat panggilan khusus dari presiden RI untuk menjelaskan hal
tersebut, begitu juga Kepala BPS Sulawesi Barat pada waktu itu juga diminta
mempresentasikan angka tersebut di hadapan anggota DPRD Provinsi Sulawesi
Barat. Bahkan sorotan tajam pun mengarah profesionalisme kita sebagai penghasil
data yang akurat. Angka pertumbuhan tinggi tersebut perlahan terjelaskan dengan
baik oleh data dan fenomena ekonomi yang ada pada saat itu. Fenomena yang
mendukung tersebut diantaranya berasal dari sektor pertanian yang memiliki source of growth sekitar separuh lebih
dari total pertumbuhan. Dimana pada
tahun 2010 terjadi peningkatan produksi padi yang sangat signifikan yaitu
mencapai 16,80 persen (data ATAP) menyusul diperbaikinya saluran primer bendungan irigasi sekka-sekka di
Polewali Mandar setelah mengalami kerusakan dan membuat produksi padi mengalami
penurunan pada 2009. Selain itu pada tahun 2010 terjadi peningkatan
produksi perkebunan coklat dan kelapa sawit yang cukup tinggi, serta didukung
pertumbuhan sektor-sektor lain yang cukup tinggi pula.
Hal yang serupa juga pernah terjadi dalam
suatu kegiatan di Jakarta, ketika ada pihak yang mempertanyakan transportasi penumpang
angkutan udara di Sulawesi Barat pada triwulan III tahun 2011 lalu yang
notabene adalah momen puasa dan lebaran malah terjadi penurunan penumpang
sampai 2 persen dibandingkan triwulan sebelumnya, sedangkan fenomena umumnya
hampir semua bandara di Indonesia terjadi lonjakan penumpang yang luar biasa,
“apa fenomenanya?” Hal tersebut terjelaskan dengan fenomena, dimana mayoritas
penumpang pesawat yang berangkat dari Mamuju merupakan PNS tujuan perjalanan
dinas, dimana pada bulan Ramadan frekuensi perjalanan dinas cukup berkurang. Fenomena
tersebut tidak hanya terjadi pada triwulan III tahun 2011 saja, bahkan sampai
triwulan III tahun 2013 kemarin penumpang yang berangkat dari Tampa Padang masih
mengalami penurunan 1,86 persen dibandingkan triwulan II 2013 berdasarkan data
Departemen Perhubungan Bandar Udara Tampa Padang.
Tingginya inflasi kota Mamuju tahun
2013 yang mencapai 5,91 persen, juga
terjelaskan dengan adanya kebijakan administered
prices berupa kebijakan pemerintah pusat dalam menaikkan harga BBM dan juga
adanya sebab Volatile foods. Selain
itu, pertumbuhan ekstrim industri percetakan sebesar 25,90 persen pada tahun
2013 pada rilis IMK 2 Februari 2014, juga terjelaskan dengan fenomena hiruk-pikuk
persiapan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, dimana banyak pihak khususnya tokoh
partai yang memesan kartu nama, spanduk, baliho, stiker dan sablon kaos dalam
partai besar sepanjang tahun 2013.
Tantangan ke Depan
Itulah tadi beberapa data dan
indikator yang kita punyai yang mampu menjelaskan fenomena, atau sebaliknya
fenomena yang ada pun mampu menjelaskan data kita. Tantangan buat semua insan
BPS dalam era reformasi birokrasi seperti sekarang untuk selalu meningkatkan
kualitas data dengan semangat profesional, integritas dan amanah. Data yang
kita hasilkan dituntut harus selalu mampu menjelaskan fenomena yang ada, bukan
mencari-cari fenomena supaya sesuai data. Selamat Hari Statistik Nasional 26
September 2014...Semoga BPS semakin jaya...!!!!